Jumat, 21 Februari 2014

Kamu dan Waktu

Lelaki itu menghirup minumannya.

Menyesap segala rasa yang menyertai dengan perih menusuk dada.
Ia lalu melirik jam tangannya. Sudah 30 menit lebih dia di Cafe tersebut. Sambil menghela nafas panjang. Gerimis menyiram bumi.
Juga membuat wajahnya kian muram.
Untung saja ia ditemani Symbian pribadinya yang dapat digunakan untuk menjelajah dunia maya di cafe tersebut.
Menunggu memang sebuah pekerjaan yang membosankan, namun baginya, menanti perempuan bermata sipit, selalu menimbulkan sensasi tersendiri dan membuat waktu selalu akan menjadi lebih bersahabat. Selama apapun itu.
Namun tak urung, setelah 30 menit berlalu dan tenggorokannya mulai terasa pahit , membuatnya sedikit senewen. Tapi tak apa, ia berusaha berdamai dengan diri sendiri. Demi perempuan yang menyimpan bintang kejora dimatanya itu, selalu saja ada pengecualian dan maaf tak bertepi.

Ia ingat, secara tak terduga, perempuan yang pernah menyimpan separuh hatinya dimasa lalu itu datang menyapanya lewat email 4 bulan silam.
“Gembira rasanya menemukanmu kembali lewat socmed Apa kabarmu?”
Masih selalu terngiang dibenaknya kalimat di email pertama perempuan itu yang seketika membuat jantungnya seakan meloncat keluar. Ia begitu bahagia dan tak menyangka, dunia maya mempertemukan mereka secara tak terduga.
Dan setelah itu, interaksi diantara mereka kembali terjalin setelah hampir 10 tahun berlalu. Mereka bercerita, tertawa dan saling berbagi rasa melalui komunikasi lewat internet.

Perempuan itu bercerita, sementara sang lelaki berkisah. Mereka mengirim foto masing-masing serta saling berkomentar.

Dan kenangan masa lalu pun mengalir deras lewat email-email yang berseliweran antara mereka. Tentang puisi-puisi cinta yang selalu dilampirkan lelaki itu , Tentang indahnya perjalanan cinta masa remaja mereka juga pedihnya perpisahan sejak saat itu kehilangan kontak dengannya, hingga akhirnya 4 bulan silam, takdir mempertemukan kembali.
Mereka menikmati percakapan intens dari dunia maya itu.
“Aku merindukan suaramu, tolong beritahukan nomor teleponmu dan kita bercakap lagi, seperti dulu,” ucap lelaki itu dalam sebuah email dengan rasa kangen yang membuncah.
Lelaki itu menyerah. Sampai kemudian dua hari lalu ia menerima email dari perempuan itu.
“ ia membalas email tadi dengan jemari gemetar. Jantungnya berdegup kencang.

Lelaki itu menghela nafas panjang.
“Boleh ketemu? Aku penasaran melihat sosok aslimu setelah 10 tahun berlalu”, kembali lelaki itu menulis email dengan jemari gemetar sambil menahan nafas. Tegang.
Lelaki itu menelan ludah. Tapi aku merindukanmu!, jerit batinnya kesal.
kemudian, jawaban itu datang
“Baiklah. Tapi tidak lama-lama”
Lelaki itu melonjak gembira. Ia mengetik balasan email itu dengan mata berbinar.
“OK, terimakasih. Aku akan ada disana setengah jam sebelum janji kita ketemu.“
Dia masih seperti dulu. Badan tinggi rambut ikal meski ada beberapa helai uban terlihat dan wajah tampan , perempuan bermata sipit itu membatin.
Setelah 10 tahun berlalu, ternyata perasaan itu tak berubah. Ia masih mencintai lelaki itu. Lelaki yang sekalipun tak pernah menyatakan perasaan cinta padanya namun mengungkapkannya lewat puisi yang seketika membuat hatinya porak poranda dan melambung ke atas awan., sebuah puisi yang selalu membuatnya rindu:

Pada Saatnya,
Ketika musim berganti
Dan gugusan mendung yang ranum
Menitikkan tetes hujan pertama
Biduk yang kukayuh akan merapat ke dermagamu
Menyibak kabut keraguan
Lalu mendamparkan hasrat yang hangat dibakar rindu
Pada Saatnya,
Di ujung perjalanan
Akan kubingkai binar matamu
Bersama gelegak gairah jiwaku
Menjadi lukisan indah di lekuk cakrawala
Dalam leleh cahaya bulan melumuri langit
ditingkah semilir angin laut
dan tarian ombak
membelai lembut kristal pasir pantai
Pada Saatnya,
Akan kubuatmu terjaga dari lelap tidur
lalu bersama merajut impian yang tak segera usai,
Dalam genangan cinta dipalung kalbu
Dan getar cumbu tak berkesudahan

Perempuan itu menghela nafas panjang. Begitu berat beban yang menghimpit dadanya.Tapi ia telah memutuskan. Dan baginya inilah jalan yang terbaik, meski menyisakan luka menganga begitu dalam dihatinya. Dengan gerakan kaku dan rasa haru di kalbu, ia mengirim sebuah puisi ke alamat email lelaki itu.

Selalu, aku rasa,
kita akan bercakap dalam senyap
Dengan bahasa langit yang hanya kita yang tahu
serta menyemai setiap harap yang kerap datang mengendap
lalu meresapinya ke hati dengan getir
Selalu, aku rasa,
kamu tersenyum disana, ketika akupun tersenyum disini
dan kita, dengan bahasa langit yang kita punya itu,
secara bersahaja, menyapa larik-larik kenangan
dan meniti setiap selasar waktu
bersama desir rindu menoreh kalbu
Selalu, aku rasa,
kita tak dapat menafikan
batas yang membentang
dimana jarak membingkainya lalu menjadikannya nyata
serta membuat kita sadar
bahwa pada akhirnya,
dalam pilu kita berkata:
Biarlah, kita menyesap setiap serpihan senyap
dan menikmatinya, tak henti,
hingga lelap
tanpa tatap, tanpa ratap

Lelaki itu tergugu pilu
Tiba-tiba ia ingin menulis sebuah puisi dan menorehkannya ke langit kelam. Untuk perempuan yang telah membawa separuh hatinya :

Sudah lama,
aku menyulam khayalan pada tirai hujan
menata wajahmu disana serupa puzzle,
sekeping demi sekeping,
dengan perekat kenangan di tiap sisinya
lalu saat semuanya menjelma sempurna
kubingkai lukisan parasmu itu
dalam setiap leleh rindu
yang kupelihara di sudut hati dengan rasa masygul
dari musim ke musim
“Cinta selalu memendam rahasia dan misterinya sendiri,
pada langit, pada hujan,” katamu lirih terbata-bata.
Dan seketika, linangan air matamu menjelma
bagai deras aliran sungai yang menghanyutkanku
jauh ke hulu
dimana setiap harapan kita karam disana
Sudah lama, aku memindai sosokmu
pada derai gerimis
memastikan setiap serpih mimpiku
untuk bersamamembangun surga di telapak kakimu
dapat menjadi nyata
tapi selalu, semuanya segera berlalu
dan sirna bersama desir angin di beranda
“Percayalah, aku ada dinadimu seperti kamu ada didarahku,”bisikmu pelan
ketika bayangmu, perlahan memudar dibalik rinai hujan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar