Mengapa istilah ‘Pencinta Alam’ yang dipilih..???
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin pernah
terlintas di benak kita dan juga sering jadi bahan perdebatan. Untuk
mencoba menjawabnya, ini saya ringkaskan artikel dari alm. Norman Edwin
berjudul “Awibowo – Biang Pencinta Alam Indonesia” (Mutiara, 20 Juni-3
Juli 1984). Awibowo adalah pendiri dari salah satu perkumpulan pencinta
alam pertama di Indonesia. Nama perkumpulannya yaitu “PERKOEMPOELAN
PENTJINTA ALAM”(PPA). Berdiri 18 Oktober 1953 dan bubar pada akhir tahun
1950. Dan setelah itu berdirilah WANADRI (PERHIMPUNAN PENEMPUH RIMBA
DAN PENDAKI GUNUNG), merupakan salah satu organisasi tertua yang
bergerak dalam kegiatan alam bebas.
Wanadri mempunyai sekretariat di kota
Bandung. Wanadri berdiri tahun 1964, tahun yang sama dengan tahun
lahirnya MAPALA SASTRA UI. Gagasan untuk mendirikan Perhimpunan Penempuh
Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri dicetuskan oleh sekelompok pemuda yang
sebagian besar adalah bekas pandu pada bulan Januari 1964. Perhimpunan
ini kemudian diresmikan pada tanggal 16 Mei 1964. Wanadri terdiri dari
sekelompok orang yang mencintai kehidupan di alam bebas. Wanadri lebih
jauh lagi merupakan masyarakat tersendiri, yang memiliki aturan dan
norma baik tertulis maupun tidak, namun semua itu berlaku dan dihormati.
Nama Wanadri berasal dari bahasa Sansekerta. “Wana” berarti hutan dan
“adri” itu gunung. Wanadri berarti gunung di tengah-tengah hutan.
Visinya berdasar AD/ART adalah menjadi organisasi pendidikan untuk
mendidik manusia, khususnya anggotanya untuk mempunyai nilai-nilai yang
terkandung dalam hakekat dan janji Wanadri. Tujuan Wanadri adalah
membentuk manusia yang mandiri, ulet, tabah. Mendidik anggotanya menjadi
manusia Pancasilais sejati, percaya pada kekuatan sendiri. Di Fakultas
Sastra UI, sebelum berdirinya Mapala UI, sudah terdapat kelompok –
kelompok mahasiswa yang gemar bertualang di alam bebas. Mereka yang
terdiri dari mahasiswa Arkeologi dan Antropologi yang banyak turun ke
lapangan serta mereka yang pernah tergabung dalam organisasi kepanduan.
Sayangnya kelompok – kelompok ini tidak terkoordinir dengan baik dalam
satu wadah dan mereka juga tidak pernah membuka diri dengan peminat –
peminat baru di luar jurusannya. Adalah seorang Soe Hok Gie yang
mencetuskan ide pembentukan suatu organisasi yang dapat menjadi wadah
untuk mengkoordinir kelompok – kelompok tadi, berikut kegiatan mereka di
alam bebas. Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu
sore, 8 November 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah
mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti
yang dikemukakan Sdr. Soe sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta
alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19
Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama IKATAN
PENCINTA ALAM MANDALAWANGI itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan
mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah
melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya
yang kedua. Adapun organisasi yang diidamkan Sdr. Soe itu merupakan
organisasi yang dapat menampung segala kegiatan di alam bebas, dan ini
dikhususkan bagi mahasiswa FSUI saja. Kegiatan ini terutama pada masa
liburan. Bedanya dengan kelompok yang ada, gagasan ini terutama
ditekankan pada perlunya memberikan kesempatan pada mereka yang
sebelumnya pernah keluyuran , untuk melihat dari dekat tanah airnya.
Namun pada akhirnya usaha ini gagal karena ada kesalahan teknis pada
saat akan diadakan pendeklarasian di Cibeureum pada November 1964.
Meskipun usaha pertama gagal, para
perintis ini tidak menyerah. Sementara mematangkan ide, mereka bertukar
pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang
Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap
organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi
MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Dan pada
waktu itu segala yang borjuis, habis diganyang. Nama ini diberikan oleh
Bpk Moendardjito. MAPALA merupakan singkatan dari MAHASISWA PENCINTA
ALAM. Dan “Prajnaparamita” berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala
juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini
diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu
berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Dewi Prajnaparamita juga
menjadi lambang dari senat FSUI saat itu. Lambang yang digunakan adalah
gambar dua telapak kaki dengan tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA dibawahnya.
Telapak kaki kiri terletak lebih kedepan dari telapak kaki kanan. Hal
ini melambangkan kehadiran di alam bebas dalam bentuk penjelajahan dan
sebagainya. Selain itu lambang telapak kaki ini juga diilhami penggunaan
tapak kaki oleh raaja Purnawarman dalam prasasti – prasastinya yang
dapat diartikan lambang kebesaran. Dibawah tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA
ditambah tulisan FSUI yang menunjukkan tempat bernaungnya organisasi
ini. Pada tanggal 11 Desember pukul 06.30 semua peserta yang mencapai
lebih dari 30 orang berkumpul di lapangan Banteng dan berangkat. Pada
pukul 11.00, mulailah rombongan mendaki lereng – lereng terjal dari
bukit kapur Ciampea. Hari yang panas waktu itu membuat beberapa peserta
”anak mami” kelelahan dan merepotkan panitia. Jam 14.30 peserta tiba di
bukit. Tenda segera didirikan. Pada malam hari angin bertiup sangat
kencang dan hujan lebat. Tenda banyak yang roboh, sehingga peserta
banyak yang berteduh di gubuk yang kebetulan ada disitu. Hampir saja
peresmian Mapala dibatalkan karena sampai dengan jam 20.00 hujan masih
lebat. Namun akhirnya pada pukul 21.00 hujan berhenti dan bulan bersinar
terang. Semua peserta yang basah kuyup dikumpulkan untuk mengadakan
rapat pembentukan MAPALA yang dipimpin Sdr. Soe. Ketika rapat sedang
berjalan, tiba – tiba datang tamu dari Jakarta yaitu Bpk Soemadio, Bpk
soemadjito dan Mang Jugo Sarijun yang sengaja datang untuk menyaksikan
upacara peresmian MAPALA. Sdr Maulana terpilih sebagai ketua pertama dan
formatur tunggal. Sampai dengan tahun pertama, Mapala telah memiliki 12
orang anggota yaitu AS Udin, Rahaju, Surtiarti, Ratnaesih, Endang
Puspita, Mayangsari, Soe Hok Gie, Judi Hidajat, Edhi Wuryantoro, Koy
Gandasuteja, Wahjono, dan Abdurrahman. Sampai tahun 1970-an, di beberapa
fakultas di UI terdapat beberapa organisasi pencinta alam antara lain :
Ikatan Mahasiswa Pencinta alam (IMPALA) di Psikologi, Climbing And
Tracking Club (CATAC) di Ekonomi, Yellow Xappa Student Family
(Yexastufa) di Teknik, Climbing And Tacking (CAT) di Kedokteran dll.
Setelah berjalan beberapa waktu di fakultasnya masing–masing,
organisasi–organisasi ini merasakan dan menyadari bahwa Mapala UI yang
telah terbentuk dan disetujui oleh Rektor UI (Prof. DR. Sumantri
Brojonegoro (Alm.)) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa adalah milik seluruh
mahasiswa UI. Oleh karena itu organisasi–organisasi tersebut setuju
untuk bersatu dalam satu wadah yaitu MAPALA UI. Kemudian pada tahun
1970, WANADRI memprakarsai Gladian Nasional yang merupakan pertemuan
akbar pecinta alam se Indonesia. Menurut bahasa berasal dari “gladi”
(bahasa Jawa) yang mempunyai arti “latihan” sehingga Gladian Nasional
bisa diartikan sebagai “ajang latihan” bagi para pecinta alam guna
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan dalam bidang
kepecintaalaman dan kegiatan alam bebas. Gladian Nasional juga berperan
sebagai wahana silaturahmi dan berbagi pengetahuan antar perkumpulan
pecinta alam se Indonesia. Pada awalnya kegiatan ini diadakan oleh
WANADRI sebagai ajang latihan bagi anggotanya untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam
gladian ini antara lain mountaineering, pengenalan SAR, acara
kekeluargaan, serta tukar menukar informasi dan pengalaman. Selain
anggota WANADRI dalam kegiatan ini diundang pula beberapa perhimpunan-
perhimpunan pencinta alam dan pendaki gunung yang ada di Jawa. Dalam
acara gladian yang kemudian dikenal sebagai Gladian Nasional I ini hadir
109 orang dari 18 perhimpunan. Pada kesempatan itu pula akhirnya
disepakati bersama untuk menyelenggarakan gladian-gladian selanjutnya
sebagai media pertemuan dan latihan pencinta alam dan pendaki gunung di
Indonesia. Salah satu Gladian Nasional yang fenomenal adalah Gladian
Nasional IV yang berlangsung di Sulawesi Selatan di mana dalam gladian
ini berhasil disepakati KODE ETIK PENCINTA ALAM INDONESIA yang masih
dipergunakan oleh berbagai perkumpulan pecinta alam di Indonesia hingga
sekarang. Meskipun tidak rutin dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu
namun Gladian Nasional telah berhasil dilaksanakan beberapa kali.
Berikut adalah daftar pelaksanaan Gladian Nasional:
* Gladian Nasional I diselenggarakan oleh WANADRI pada tanggal 25 – 29 Februari 1970 di tebing Citatah Jawa Barat.
* Gladian Nasional II diselenggarakan pada tahun 1971 di Malang Jawa Timur yang diselenggarakan oleh TMS 7 Malang.
* Gladian Nasional III diselenggarakan
di Pantai Carita, Labuhan, Jawa Barat pada bulan Desember 1972. Kegiatan
ini diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Pencinta alam dan Penjelajah
Alam se-Jakarta.
* Gladian Nasional IV diselenggarakan di
P. Lae-Lae dan Tana Toraja Sulawesi Selatan pada bulan Januari 1974.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Kerja sama Club Antarmaja
Pencinta Alam se-UjungPandang. Dalam gladian IV yang dihadiri oleh 44
perhimpunan organisasi pecinta alam ini berhasil menyepakati Kode Etik
Pecinta Alam Indonesia yang masih dipergunakan hingga sekarang.
* Gladian Nasional V diselenggarakan di
Jawa Barat pada bulan Mei 1978. Gladian ini semula direncanakan
dilaksanakan pada tahun 1974 namun baru bisa berhasil diselenggarakan
pada tahun 1978 oleh WANADRI bekerja sama dengan berbagai perhimpunan
organisasi Pecinta Alam (dan sejenisnya) se Jawa Barat.
* Gladian Nasional VII diselenggarakan di Kalimantan Tengah.
* Gladian Nasional IX dilaksanakan di Lampung pada bulan Januari 1989.
* Gladian Nasional X diselenggarakan di Jawa Barat pada tanggal 5–10 September 1994.
* Gladian Nasional XI dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 4–11 Agustus 1996.
* Gladian Nasional XII dilaksanakan di Jawa Timur dari tanggal 28 Mei- 5 Juni 2001.
* Gladian Nasional XIII direncanakan dilaksanakan pada tanggal 7-17 Agustus 2009 di Mataram Nusa Tenggara Barat.
Sedangkan divisi pemanjatan tebing
mencatat pada tahun 1977, Skygers Amateur Rock Climbing Group didirikan
di Bandung oleh Harry Suliztiaito, Agus Resmonohadi, Heri Hermanu, Deddy
Hikmat. Inilah awal tersebarnya kegiatan panjat tebing di Indonesia
ANTARA DULU DAN SEKARANG HAKEKAT YANG TELAH BERGESER
Setelah puluhan tahun berlalu, hakekat
pencinta alam itu sudah banyak bergeser dari hakekatnya, dan tidak di
terapkan pada kehidupan sehari-hari. Padahal seharusnya mereka yang
masuk organisasi pencinta alam harus mempunyai poin lebih dari pada yang
tidak masuk tentang kelestarian lingkungan. Bukannya inti dari kode
etik itu adalah soal kesadaran tentang alam dan upaya untuk mencintai
alam, berarti pula mencintai Sang Pencipta melalui kegiatannya tersebut.
Sudah saatnya organisasi pencinta alam “bersatu” guna mengembangkan ide dan kegiatan yang bermanfaat dalam bentuk yang kongkrit. Hal ini untuk dirinya sendiri, golongan, masyarakat,terutama sekali buat “ Ibunda “ kita sendiri yaitu alam dimana kita bermain dan berkegiatan.
Sudah saatnya organisasi pencinta alam “bersatu” guna mengembangkan ide dan kegiatan yang bermanfaat dalam bentuk yang kongkrit. Hal ini untuk dirinya sendiri, golongan, masyarakat,terutama sekali buat “ Ibunda “ kita sendiri yaitu alam dimana kita bermain dan berkegiatan.
www.vhilugredink.com